MENIKMATI JAJANAN TRADISIONAL BANYUWANGI

Warung berdinding bambu seluas 4x4 meter, Rabu sore lalu, ramai dipadati pembeli. Rosyidah, 55 tahun, dengan sigap melayani permintaan pelanggannya itu. Ada yang memesan precet, lak-lak dan apem. Oleh Rosyidah, jajanan ini dibungkus dengan daun pisang. Santannya dimasukkan kantong plastik.

Tidak terlalu lama, dagangan Rosyidah pun ludes. Padahal masih jam 4 sore. Ia terpaksa meminta maaf pada belasan pembeli yang masih berdatangan ke warungnya untuk mencari jajanan yang hanya ada setahun sekali itu."Syukur, hari ini habis lagi," ucap ibu tiga anak ini kepada Tempo seraya mengembangkan senyum lebar.

Precet, Apem, dan Lak-lak adalah tiga jajanan tradisional asli Banyuwangi yang hanya bisa ditemui saat Ramadhan. Di tengah banyaknya makanan modern, jajanan tersebut ternyata masih cukup diminati menjadi ta’jil saat berbuka puasa.

Menurut Rosyidah, dari ketiga jenis jajanan itu precet paling diminati pembeli. Buktinya, selain dagangannya selalu ludes, jajanan warna-warni itu juga disukai di luar Banyuwangi seperti Jember, Surabaya dan Malang. Di daerah-daerah itu, precet disebut dengan pethula (baca:Pethulo). Rosyidah menyaksikan, makanan ini bermunculan di luar daerah karena dibawa orang-orang Banyuwangi yang menetap di kota-kota itu.” Precet memang digemari,” tuturnya.

Di Banyuwangi sendiri, selain di warung pemukiman seperti milik Rosyidah, para penjual jajanan tradisional ini bisa ditemukan di jalan-jalan protokol kota Banyuwangi. Ibarat jamur di musim hujan, sejumlah pedagang secara otomatis bermunculan bila Ramadhan sudah tiba. Biasanya mereka hanya memakai satu meja lengkap dengan tempat penyimpanan jajan yang bisa dilihat dari jalan.

Bahkan, precet tanpa santan dijual lebih luas melalui pasar-pasar tradisional. Pembelinya juga banyak dari kalangan ibu rumah tangga atau para pedagang takjil yang akan menjual precet siap saji. Untuk yang siap saji, paling banyak ditemukan di jalan Ahmad Yani, atau depan Kantor Pemerintah Kabupaten. Disitu pedagang hanya membawa satu meja kecil untuk meletakkan gelas-gelas plastic berisi aneka takjil termasuk precet. Sehingga, pembeli bisa langsung menikmati takjil di tempat sebelum menyantap menu lesehan yang juga bermunculan di jalan itu.

Ketiga jajanan ini berbahan baku sama, terbuat dari tepung beras. Hanya pengolahan dan bentuk cetakannya saja yang berbeda. Kalau precet dikukus lalu dicetak oval. Bentuknya memang mirip seperti mie yang digulung. Warnanya ada empat macam: coklat, putih, hijau, dan merah.

Bila precet dikukus, jajanan lak-lak justru dibakar di sebuah cetakan khusus berbentuk bulat. Warnanya putih susu, dan belakangnya kecoklatan bekas bakaran. Sedangkan apem, juga dikukus tapi adonannya dicampur dengan tape sehingga berasa lebih masam. Apem ada yang dicetak persegi, ada juga berbentuk bunga.

Ketiga jajanan ini disajikan memakai santan. Masyarakat pun dapat menyesuaikan seleranya, memakai santan gurih atau santan manis. Bedanya, santan manis dicampur dengan gula merah sehingga warnanya coklat keruh. Sedangkan santan gurih hanya dicampur dengan garam.

Bagi kelas menengah bawah, berbuka dengan jajanan ini tidak terlalu menguras kantong karena harganya cukup terjangkau. Rata-rata, pedagang menjual seharga Rp 500 per biji.

Meski jajanan ini sudah muncul puluhan tahun lalu, masyarakat justru menantikan bulan puasa untuk bisa menikmati ketiga makanan berasa manis dan gurih itu. Muhammad Yasin, 38, tidak pernah melewatkan sehari tanpa menikmati precet dan lak-lak. Termasuk Rabu sore itu, Yasin membatalkan puasanya dengan membeli sepincuk precet. Yasin menunturkan, pernah suatu ketika ia berbuka dengan precet dan lak-lak sekaligus. “Kalau tidak pakai precet, berbuka rasanya kurang mantap,” kata lelaki yang bekerja sebagai supir angkutan ini.

Menurut Yassin, setiap hari ia merogeh kocek Rp 5 ribu untuk membeli jajanan itu bagi istri dan kedua anaknya. Seperti sudah menjadi tradisi, kebiasaan memakan jajanan tradisional saat berbuka itu sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Selain rasanya yang segar melepas dahaga setelah seharian berpuasa, katanya, ia cukup rindu karena harus menikmati jajanan tersebut setahun sekali.”Saya belum pernah bosan,” katanya.

Pembeli lain, Astutik, 40 tahun, Rabu sore itu sudah memesan 20 precet pada salah satu penjual. Ia memilih pesan lebih dulu, karena takut kehabisan. Keluarga Astutik juga menjadikan precet dan jajanan tradisional sebagai takjil wajib saat berbuka puasa. Meski tanpa makanan itu tidak jadi soal, tapi menurutnya ada yang belum lengkap bila tak menyantap jajanan itu.”Suami dan anak-anak suka, jadi ya saya tetap beli,” katanya sambil tersenyum.

Membawa Rejeki

Tentu saja, besarnya minat warga terhadap jajanan tradisional itu membawa rejeki melimpah bagi penjual. Nurastuti,35 tahun, penjual jajanan tradisional di jalan Wahid Hasyim Kota Banyuwangi, rata-rata bisa membawa pulang pendapatan bersih Rp 150 setiap harinya.”Lumayan, bisa nambahin penghasilan suami yang tidak tentu,” tutur Nurastuti, yang suaminya bekerja sebagai sopir lepas.

Selama ramadhan pula, Nur, panggilannya, malah bisa mempekerjakan tiga orang tetangganya dengan upah masing-masing Rp 10 ribu. Maklum, adonan yang harus dibuat tergolong banyak. Untuk precet saja, setiap harinya Nur membutuhkan 7 kilogram tepung beras. Sedangkan lak-lak dua kg dan apem ½ kg. “Wah kalau bekerja sendiri, tenaganya yang gak kuat,” ungkapnya.

Jajanan ini ia tempatkan di rombong kayu buatan suaminya, Rosyidi. Nur dibantu suami dan anaknya mulai menggelar jualan mulai jam 3 sore, dengan menempati trotoar di jalan Wahid Hasyim. Untung saja, pak RT setempat mau menolongnya dengan memberikan lampu 5 watt gratis untuk penerangan di saat magrib datang. Bila waktu Ramadhan sudah usai, ibu dua ini beralih menjadi penjual rujak sayur.

Rosyidah : Penerus Penjual Jajanan Tradisional Banyuwangi

Rosyidah, 55 tahun, warga jalan Kyai Harun RT 01/01 Kelurahan Tukang Kayu, berulangkali berucap syukur karena dibekali kemampuan pandai memasak dan membuat jajan. Termasuk membikin jajanan Banyuwangi seperti precet, lak-lak, apem maupun kolak. Di luar itu, perempuan ini juga jago memasak masakan khas Banyuwangi lain seperti rujak soto, pecel rawon, dan nasi tempong.

Kemampuan perempuan dengan tiga anak ini, rupanya diturunkan sejak nenek dan ibunya yang juga menggantungkan dari masak-memasak sebagai pendapatan utama dalam keluarga. Berarti Rosyidah sudah menjadi generasi ketiga yang meneruskannya.

“Dulu, nenek dan ibu juga berjualan jajanan Banyuwangi kalau sudah bulan puasa. Eh sekarang nurun ke saya juga,” tutur nenek dari satu cucu ini.

Beruntung, nasib Rosyidah sedikit lebih baik. Sepuluh tahun lalu ia bisa mengkontrak tanah sempit seluas 4x4 meter di depan gang rumahnya. Lalu ia mendirikan warung sederhana berdinding bamboo dan atap genteng yang kini terlihat sudah lusuh. Kalau pagi ia berjualan rujak soto dan nasi tempong, malamnya dilanjutkan oleh Hasan, 60 tahun, suaminya yang berjualan nasi bungkus dan kopi. Hasan sendiri bekerja serabutan dengan penghasilan tak tentu. “Ibu dan nenek saya kalau jualan, cuma di rumah. Belum bisa buka warung,” tukasnya.

Praktis dari warung mungil itulah, Rosyidah menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya.”Kalau tidak begitu, mana mungkin bisa membesarkan tiga anak saya?” katanya sambil membersihkan warung yang jualannya sudah bersih.

Bila bulan puasa sudah datang, kesibukan Rosyidah makin menjadi. Selain menjual sendiri untuk warungnya, ia menerima banyak pesanan jajanan dari luar. Rabu lalu, ia menerima pesanan 30 lak-lak tanpa santan. Kemarinnya lagi, ada yang pesan 50 precet empat warna.

Bersama dua anak perempuannya, Ida Rohmania dan Inayatur Robaniah, Rosyidah meladeni permintaan jajanan tradisional itu. Tidak ada rasa lelah, yang nampak hanya semangat untuk memanjakan lidah penggemar jajanan Banyuwangi. Sekaligus mewariskan kemampuan membuat jajanan pada anak untuk bekalnya kelak.

Komentar

Postingan Populer